(jurnal “Missio Ecclesiae”) https://jurnal.i3batu.ac.id/me/article/view/243
Charles Leonard Jefferson
Ibadah merupakan suatu aktifitas religious yang mencerminkan intimasi seseorang dengan Allah yang disembahnya. Hal ini merupakan konsepsi umum dari pluralitas agama yang ada di dunia. Ibadah sering dipahami secara umum sebagai kegiatan agamawi setiap agama kepada Tuhan yang disembahnya. Dalam konteks ke-Kristenan sendiri ibadah juga dianggap sebagai kegiatan agamawi yang harus dilakukan oleh setiap umat Kristen baik secara komunal maupun secara personal. Akibatnya kegiatan ibadah Kristen terkesan hanyalah seremonial dan formalitas belaka. Melalui penelitian ini, peneliti ingin menemukan persepsi biblis (Alkitabiah) dengan memaparkan hakikat Ibadah dalam perspektif Roma 12:1 untuk menjelaskan sinergitas penyataan Allah dan respon manusia dalam konteks ibadahnya. Peneliti menggunakan metode Exegetis dengan pendekatan kualitatif, dengan menganalisis konteks dan teks Roma 12:1 agar memahami makna yang mendalam terkait penyataan Allah dan respon manusia beribadah. Berdasarkan hasil exegetis, Peneliti menemukan konsep dasar Paulus mengenai Ibadah, yang di dalamnya memiliki sinergitas antara penyataan Allah dan respon manusia beribadah melalui 1) Ibadah merupakan inisiatif dan kehendak Allah; 2) Ibadah adalah Persembahan Diri Manusia Sebagai Respon kepada Allah. Jadi, penyataan Allah yang dimulai dari inisiatif dan kehendak Allah dan respon manusia sama-sama berperan penting untuk mewujudkan ibadah yang berkenan di hadapan Allah.
PENDAHULUAN
Allah menciptakan segala sesuatu, langit bumi dan segala isinya, termasuk manusia. Manusia adalah ciptaan yang paling special karena Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah, ini tercatat dalam Kitab Kejadian 1:26-27. Tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa manusia akan menjadi sama dengan Allah. Serupa pasti tidak sama, hanya mirip-mirip saja. Bagaimanapun manusia adalah ciptaan dan Allah adalah Pencipta. Karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka manusia menyatakan Allah lebih menakjubkan dibanding ciptaan lainnya. Dalam tanggung jawab menyatakan Allah ini, maka manusia harus mengalami perjumpaan dengan Allah.
Manusia pada mulanya memiliki intimasi dengan Allah sebagai Penciptanya. Hubungan ini terlihat melalui komunikasi manusia dengan Allah di taman Eden. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk ibadah manusia kepada Allah. Manusia memuliakan Allah dengan melakukan tugasnya ketika menamai setiap hewan di taman Eden, dan Allah berfirman kepada manusia untuk tidak memakan buah yang di tengah-tengah taman. Namun, manusia tidak mentaati firman TUHAN. Manusia menerima tawaran setan sehingga memakan buah yang TUHAN Allah larang untuk dimakan. Karena kejatuhan manusia dalam dosa itulah (Kejadian 3:1-24) manusia mengalami kematian rohani dan moral. Kematian moral merupakan kematian hidup Allah di dalam diri manusia dan tabiat manusia menjadi penuh dosa; kematian rohani berarti bahwa hubungan manusia dengan Allah sebelumnya sudah hancur. Sejak dosa Adam dan Hawa, semua orang yang lahir memasuki dunia dengan tabiat yang berdosa (Rom 8:5-8). Rasul Paulus mengutip Mazmur 14 dan 53, berkata, “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak…rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu” (Roma 3:10-18).[1]
Perjumpaan dengan Allah bukan usaha manusia tetapi inisiatif Allah semata dengan memperkenalkan diri-Nya, bertemu serta menyelamatkan manusia. Inilah hakekat hidup manusia yaitu mengenal dan berjumpa dengan Allah karena tanpa hal ini manusia tidak akan pernah mengenal dirinya sendiri. Takaliuang mengutip John Calvin dalam Institute of Religion manulis: “man never achieves a clear knowledge of himself unless he has first looked upon God’s face, and descends from contemplating him to scrutinize himself”. Calvin dengan baik mengamati bahwa manusia mengerti siapa dirinya hanya didalam terang Allah itu. Oleh karena itu pengenalan Allah adalah urat nadi atau hal yang fundamental untuk manusia.[2]
Hutapea merujuk pendapat James White, Buttrick (20025:188) menyatakan bahwa sangat sulit untuk mendefinisikan “ibadah”. Salah satu alasannya adalah bahwa di dalam Alkitab tidak terdapat suatu definisi baku tentang ibadah. Alasan lainnya adalah bahwa, bentuk-bentuk peribadatan senantiasa mengalami perubahan sepanjang sejarah kehidupan bergereja. Beberapa teolog memaknai ibadah sebagai berikut: 1) McKim (1996:307): “The service of praise, adoration, thanksgiving, and petition directed toward God through action and attitudes”; 2) Whaite (2001:22), merujuk Martin Luther: “…Christian worship is our Lord Himself that talks to us through his holy word and we talk to him in prayer and sons of praise”; 3) Packlers (2003:30): “Christian worship is ultimately about praising and thanking God as we recall God’s mighty deeds and as we come to re-discover our own identity as Christ’s body in this word”.
Merujuk pendapat para teolog dimaksud dapat dikatakan bahwa unsur utama ibadah adalah ‘Penyataan Allah’ (revelation) dan ‘tanggapan manusia’ (response) penyataan diri Allah (revelation). Beranjak dari pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa ibadah adalah suatu perjumpaan manusia dengan Allah. Penting untuk dicermati bahwa corak (bentuk) peristiwa perjumpaan manusia dengan Allah ini bertumpu pada pengakuan iman (confession of faith) dan penafsitan-pemahaman umat terhadap pengakuan imannya (teologi).[3] Perjumpaan manusia dengan Allah di mulai dari Allah dan bukan manusia. Manusia meresponi panggilan Allah untuk beribadah kepadanya. Hal ini dimulai saat umat Israel dipanggil keluar dari Mesir untuk beribadah kepada Allah di gunung Sinai. Ibadah dalam konteks Perjanjian Lama sarat dengan penyataan Allah yang luar biasa di tengah-tengah umat-Nya.
Jadi ibadah merupakan respon iman manusia akan penyataan Allah yang luar biasa di dalam hidupnya. Bukan sebuah seremonial gereja belaka yang dilakukan sebagai indikator orang beragama Kristen. Hal ini merupakan hakikat ibadah yang harus dipahami dan direfleksikan bukan saja dalam ibadah komunal melainkan secara personal yang meliputi segala aspek kehidupan. Sehingga apapun yang dilakukan dan dikerjakan orang percaya, hal itu merupakan bentuk ibadahnya kepada Allah.
Pada kenyataannya ibadah orang Kristen dipahami sebatas kegiatan-kegiatan ibadah komunal atau personal yang ditandai dengan doa, pujian dan merenungkan firman Tuhan untuk menguatkan iman kepercayaan dan upaya menjangkau mereka yang belum beribadah. Riemer menjelaskan: “Ibadah merupakan sarana penting untuk menghidupkan dan menguatkan kepercayaan jemaat dan untuk menyinarkan kasih Kristus kepada orang-orang yang belum menjadi anggota jemaat, sehingga mereka tertarik untuk bergabung dengan jemaat.”[4]
Sehingga, setiap orang percaya akan memiliki suatu visi dalam sebuah ibadah, yaitu: (1) merasakan kekuatan Allah, (2) menyaksikan kemuliaan Allah dan kekudusan-Nya, (3) merasakan kasih setia-Nya, (4) memandang Kristus dalam Ibadah, (5) Menghidupi pengorbanan Kristus di kayu salib untuk kita manusia dan (6) kehidupan kekal yang ada di dalam Dia.[5]
Dari penelitian sebelumnya, ibadah dilihat hanya dalam konteks manusia membangun iman yang lebih kokoh setelah merasakan kasih Allah, kemuliaan dan kekudusan-Nya serta menghidupi pengorbanan Kristus untuk manusia juga keselamatan yang telah diteriam. Namun pada penelitian ini lebih dalam melihat hakikat ibadah sebagai sebuah sinergitas penyataan Allah dan respon manusia yang menyentuh segala aspek kehidupan. Misalnya ibadah dan aktivitas dunia kerja dibedakan dan tidak ada kaitan sama sekali. Bekerja dianggap sebagai bentuk kegiatan manusia mencari nafkah untuk kehidupannya, sedangkan ibadah merupakan kegiatan antara manusia dengan Allah. Dalam penelitian ini hakikat ibadah bukan sekedar intimasi dalam doa dan pujian kepada Allah, melainkan lebih dalam sebagai bentuk intimasi manusia dengan Allah yang kemudian diwujudkan secara nyata di dalam segala aktifitas manusia setiap waktu bahkan menyentuh segala aspek kehidupan.
SINERGITAS PENYATAAN ALLAH DAN RESPON MANUSIA BERIBADAH: KAJIAN BIBLIS ROMA 12:1
Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang potret ibadah Roma 12:1, maka Peneliti akan memaparkan dua pokok pembahasan: (1) Analisis konteks kitab, (2) Eksegetis Teks Roma 12:1. Roma 12:1 (TB) “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati”. Romans 12:1 (NIV) “Therefore, I urge you, brothers and sisters, in view of God’s mercy, to offer your bodies as a living sacrifice, holy and pleasing to God—this is your true and proper worship”.
Konteks dekat dari Roma 12:1, kita dapat mencari tahu pikiran-pikiran Rasul Paulus dalam surat Roma. Surat Roma adalah satu-satunya surat yang Rasul Paulus tulis kepada jemaat yang belum dikenalnya. Jadi Rasul Paulus bukanlah pendiri jemaat Roma, tetapi Rasul Paulus mendengar dan mengetaui sedikit banyak tentang jemaat Roma, sehingga ia mempunyai keinginan untuk mengunjungi jemaat Roma. Rasul Paulus memulai dengan pendahuluan dengan salam (1:1-7) dan menjelaskan posisinya sebagai seorang Rasul Kristus (1:8-15). Setelah memperkenalkan diri, dia langsung menguraikan tentang Injil Allah yang menjadi tema utama Surat Roma (1:16-18), kemudian dia uraikan keberadaan manusia baik orang Yahudi maupun orang bukan-Yahudi, sama-sama berada di bawah murka Allah. (1:18 – 3:20). Karena semua orang di bawah murka Allah, tidak ada jalan lain selain dibenarkan oleh Allah. Inilah anugerah terbesar bagi manusia dari yang hina menjadi mulia, dari tidak percaya menjadi percaya. Selanjutnya Rasul Paulus menjelaskan bahwa kebenaran Allah dinyatakan (3:21 – 4:25) merupakan wujud pembenaran oleh iman, semuanya terjadi karena anugerah Allah. Kebenaran Allah dinyatakan melalui Kristus (3:21-31) dan kebenaran Allah yang disaksikan dalam Perjanjian Lama (4:1-25). Selanjutnya, dia yang dibenarkan karena iman akan hidup (5:1 – 8:39). Perbedaan yang mencolok antara pasal 7 dan 8 adalah : pasal 7 berbicara soal Hukum Taurat sedangkan pasal 8 berbicara soal Roh Allah (Roh Kudus). Hal lain yang diingatkan oleh Rasul Paulus bahwa sebagai anak-anak Allah maka kita juga adalah ahli warinya dan penderitaan yang kita alami adalah jalan menuju kemuliaan (8:14-39). Pembenaran karena iman tidak meniadakan janji Allah kepada Israel dan kegagalan Israel (pasal 9 – 11). Selanjutnya Rasul Paulus menjelaskan perilaku orang yang dibenarkan karena iman (12:1 – 15:13).
Bergant dan Karris, memberikan pemahaman Roma 12:1-2 dibuka dengan tiga seruan kepada orang Kristen di Roma: (1) hendaknya mereka mempersembahkan diri sebagai kurban hidup kepada Allah; (2) hendaknya mereka jangan serupa dengan budaya mereka (melainkan membentuknya); (3) hendaknya mereka membiarkan Allah mengubah mereka melalui Roh-Nya. Seruan-seruan dibuat berdasarkan apa yang telah dikemukakan dalam surat mengenai hal ini, yaitu sejarah belas kasih Allah terhadap ciptaan-Nya.
Konteks Jauh. Untuk memahami konsep tentang ibadah yang sejati, kita harus melihat bagian lain dari kitab-kitab di luar surat Roma. Rasul Paulus juga ada membahas tentang ibadah dalam surat-surat lainnya seperti Surat Galatia dan Surat Korintus. Beberapa hal yang memiliki kesamaan antara lain adalah : (1) Roh dan daging dalam Roma 8, dengan Galatia 5:16-26; (2) Dibenarkan oleh iman dalam Roma 3:21-31, dengan Galatia 3:1-4; (3) Ibadah dalam Roma 12:1-2, dengan 1 Korintus 3:16-17 tentang tubuh adalah bait Allah yang perlu dijaga kekudusannya.
Dalam Roma 12:1-2 diungkapkan bahwa tubuh ini adalah persembahan bagi Allah yang kudus. Artinya kekudusan hidup berlaku terus bagi hidup tiap-tiap hari. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, dalam Roma 12:2 memiliki kemiripan dengan Galatia 5:13 tentang memiliki kemerdekaan bukan untuk melakukan dosa tetapi melayani sesama dengan kasih.
Inti dari pemikiran Rasul Paulus dari semua surat-surat yang ditulisnya perihal ibadah adalah tanda dari orang yang telah dibenarkan oleh Allah. Pembenaran Allah itu meliputi seluruh aspek hidup manusia dan totalitas hidup inilah yang dipersembahkan kepada Allah sebagai ibadah, dan persembahan tubuh ini adalah kudus.
Pada bagian ini penulis menguraikan dua pokok utama yang merupakan hakikat Ibadah dalam perspektif Paulus, antara lain: kemurahan Allah, dan mempersembahkan tubuh sebagai respon manusia.
Pertama, kata kemurahan yang diterjemahkan mercy (NIV), yang dalam bahasa Yunaninya oivktirmw/n dalam bentuk kata benda, genitiv, maskulin, jamak.[6] Kata mercy disini menunjuk kepada Allah tw/ qew/ artinya mercy adalah milik Allah. Dalam bagian ini Paulus menggunakan istilah oivktirmw/n pada kata mercy. Istilah oivktirmw/n, berasal dari bahasa Ibrani Rahamim yang diambil LXX, dimana kata ini digunakan sebanyak 6 kali. Kata ini diartikan oleh Leon Morris dalam Paul Dictionary demikian_A terms which seems to denote the feeling kinship between those born from the same womb or the maternal feeling of a mother who has given birth (rehem, womb)[7]
Kata ini terkait dengan penyataan Allah yang besar dalam sejarah umat manusia. Paulus sebagai seorang yang ahli dalam Hukum Taurat, ia sangat memahami sejarah keselamatan yang dikerjakan Allah melalui suatu bangsa yakni Israel. Hal ini memungkinkan Paulus dapat menguraikan dogma penting terkait keselamatan bangsa-bangsa lain akibat ketidakpercayaan Israel dalam pasal 11. Ini merupakan karya Allah yang tidak dapat dipahami oleh pikiran manusia (pasal 11:33). Paulus memahami ibadah yang sejati atau hakikat dari ibadah sebagai penyataan Allah bagi manusia berdasarkan inisiatif dan kehendak-Nya. Tujuan Allah agar manusia dapat didamaikan dengan diri-Nya dan beribadah kepada-Nya.
Kedua, kata “mempersembahkan tubuhmu.” Dalam bagian ini ada dua kata yang digunakan untuk persembahan yaitu to present (KJV) atau to offer (NIV) yang dalam bahasa Yunani parasth/sai, yang diterjemahkan persembahkanlah. Dan kata yang kedua Sacrifice, dalam bahasa Yunani qusi, an yang diterjemahkan persembahan. Kedua istilah ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Rasul Paulus memberi nasehat dan pada bagian ini dan nasehat ini dikonkritkan lagi yaitu dengan mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan. Istilah yang digunakan untuk mempersembahkan yaitu parasth/sai dalam bentuk kata kerja, infinitif, aorist aktif,[8] yaitu menyatakan suatu perbuatan yang dilakukan hanya satu kali saja. Strong menjelaskan kata ini dengan akar kata pari, sthmi dan mengalami perpanjangan menjadi paristano diterjemahkan to stand beside.[9]
Maka kata to offer adalah penjelasan pengantar untuk istilah swmata. Yang dipersembahkan adalah tubuh ini menjadi persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Istilah tubuh yang digunakan oleh Paulus disini swma. Secara spesifik lagi dalam tulisan Paulus, istilah swma yang digunakan adalah menunjuk kepada keseluruhan hidup manusia. Totalitas hidup mencakup segala aspek kehidupan manusia. Hal ini menuntut pengorbanan. Gagasan persembahan diri dipahami Paulus tidak lagi berdasarkan tuntutan Taurat melainkan pertobatan dan penyerahan diri kepada Allah. Hidup baru yang dipersembahkan bukan hidup lama. Totalitas hidup yang baru di dalam Kristus merupakan bentuk respon yang Allah kehendaki dari sisi manusia.
Allah dalam rahmat-Nya yang berdaulat telah berkenan untuk memberikan diri-Nya dalam Roh Kudus kepada orang lemah, rusak, dan berdosa, dan hal ini merupakan alasan tertinggi bagi ibadah dan syukur kita. Banyak hal yang telah, sedang, dan akan dilakukan Allah melalui persatuan orang dengan Kristus. Semuanya itu adalah alasan untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya.[10]
Paulus menjelaskan bahwa persembahan diri harus sesuai dengan standar perkenanan Allah. Kata “yang berkenan kepada Allah” memiliki akar kata ἀρέσκω yang memiliki makna dasar “to set up a positive relation, to make peace” yaitu membangun hubungan baik atau membangun kedamaian. Kata ini juga bisa diterjemahkan sebagai “to take a pleasant attitude” yaitu suatu tindakan atau perilaku yang menyenangkan seseorang.[11] Dalam hal ini Paulus ingin menekankan bahwa dalam sebuah ibadah, orang-orang percaya yang telah mempersembahkan tubuh harus memiliki tujuan yang absolut yaitu mengambil sebuah tindakan yang menyenangkan Tuhan.
Oleh sebab itu, Paulus menguraikan hakikat ibadah yang benar berkenaan dengan penyataan Allah yang didasari sifat kemurahan hati-Nya dan respon manusia beribadah dengan persembahan hidup baru sebagai bentuk kurban yang berkenan kepada Allah. Dua hal ini bersinergi menghasilkan bentuk ibadah yang sejati yang berkenan kepada Allah. Hidup baru ditunjukkan bukan dalam ibadah formal melainkan dalam gaya hidup orang percaya setiap hari. Baik di lingkungn keluarga, sosial masyarakat bahkan dalam pola laku setiap hari.
Berdasarkan Analisa teks di atas, Paulus memiliki konsep yang sangat dalam berkaitan dengan ibadah. Ibadah menggambarkan intimasi Manusia dengan Allah. Persekutuan yang indah antara manusia dan Allah terjadi karena adanya sinergitas antara penyataan Allah kepada manusia dan respon manusia beribadah kepada-Nya. Manusia yang telah percaya dan mengalami pengampunan dosa, merupakan gambaran anugerah Allah yang besar yang Allah karuniakan kepada manusia. Hal ini yang mendasari ibadah Kristen. Ibadah merupakan respon manusia atas kasih Allah yang besar yang telah Ia nyatakan di dalam dan melalui Anak-Nya Tuhan Yesus Kristus. Sinergitas ini terjadi di dalam Kristus. Roh Kudus diam di dalam hidup orang-orang percaya dan menuntun mereka untuk kembalai beribadah kepada Allah secara total di segala aspek kehidupan mereka.
Sinergitas ini menunjukkan bahwa ibadah terjadi tidak semata-mata terjadi dari faktor Allah saja, melainkan Allah menghendaki umat-Nya dating kepada-Nya serta beribadah kepada-Nya. Ini merupakan hakikat Ibadah yang sejati yang dikemukakan Paulus di dalam Roma 12:1. Hal ini menjadi dasar penting untuk membangun kehidupan ibadah Kristen pada masa kini.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode exegesis dengan pendekatan kualitatif. Metode eksesgis adalah the critical interpretation of the biblical text to discover its intended meaning.[12] Eksegesis (bahasa Yunani: ἐξήγησις) adalah sebuah istilah yang dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk menafsirkan sesuatu.[13] Istilah eksegese sendiri berasal dari bahasa Yunani “ἐξηγεῖσθαι” (eksigisthe) yang dalam bentuk dasarnya berarti “membawa ke luar atau mengeluarkan”.[14] Kata bendanya sendiri berarti “tafsiran” atau “penjelasan”.[15] Inti dari eksegese adalah dapat menangkap inti pesan yang disampaikan oleh teks-teks yang kita baca.[16]
Baik orang Yahudi maupun orang Kristen telah menggunakan berbagai metode penafsiran di sepanjang sejarah mereka, dan maksud-maksud doktrinal serta polemik sering kali memengaruhi hasil penafsiran; sebuah teks tertentu dapat menghasilkan sejumlah penafsiran yang sangat berbeda sesuai dengan prasangka dan teknik penafsiran yang digunakan. Studi tentang prinsip-prinsip metodologis ini sendiri merupakan bidang hermeneutika. Istilah eksegese (Yunani : “exegese”) yang berarti memimpin atau membawa keluar. Ini menunjuk pada cara di mana teks Alkitab dipelajari secara mendalam dan setelah itu baru menghasilkan suatu ajaran / paham / prinisip. Sampeliling menjelaskan, teknik eksegese adalah tata cara menjelaskan atau tafsir atau interpretasi yang ditinjau dari berbagai aspek secara mendetail latar belakang isi teks dalam menangkap inti pesan kebenaran teks Alkitab yang dibawa keluar menjadi praktek sikap prilaku kehidupan manusia atau umat-Nya.[17]
Peneliti melakukan analisis teks untuk memahami konteks dan makna teks serta melakukan exegesis untuk memperoleh persepsi Paulus mengenai hakikat ibadah dalam hubungannya dengan sinergitas penyataan Allah dan respon manusia beribadah. Untuk memperoleh data yang diperlukan maka meneliti menggunakan literatur utama dan pendukung sehingga dapat memperoleh makna yang lebih mendekati makna sesungguhnya. Proses analisis teks dan konteks diperoleh melalui literatur utama yakni Alkitab dan berbagai literatur pendukung lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hakikat ibadah Kristen adalah inisiatif dan kehendak Allah bagi umat-Nya. Allah lebih dulu berinisiatif untuk mencari manusia Ketika manusia telah berdosa. Allah pula yang berinisiatif untuk menyiapkan suatu umat kepunyaan-Nya yang dipersiapkan menjadi jalan keselamatan dan berkat bagi bangsa-bangsa. Inisiatif Allah dikerjakan dalam sejarah umat manusia. Dalam Perjanjian Lama, Allah memanggil umat-Nya dari perbudakan Mesir untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah Perjanjian Lama sarat dengan kurban yang merupakan tipologi kepada Kristus yang adalah kurban Anak Domba Allah yang sempurna. Dan hal itu digenapi melalui kedatangan dan kematian Kristus di kayu salib. Hal ini menjadi dasar ibadah Kristen. Kasih Allah yang diberikan kepada manusia berdosa agar mereka dapat Kembali kepada Allah dan memuliakan nama-Nya yang kudus dalam ibadah yang kudus.
Allah menunjukkan kehendak-Nya yang besar bagi manusia dengan jalan menyerahkan Anak Tunggal-Nya, agar semua orang yang percaya kepada-Nya memperoleh pendamaian dengan diri-Nya. Kehendak Allah yang agung dan adil dinyatakan melalui karya pengorbanan Anak-Nya di kayu salib. Hal ini sulit untuk dapat dipahami. Allah menghendaki agar manusia tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal dan bersekutu dengan diri-Nya. Manusia yang percaya kepada Kristus memperoleh pengampunan dosa dan diperdamaikan dengan Allah. Allah dalam rahmat-Nya yang berdaulat telah berkenan untuk memberikan diri-Nya dalam Roh Kudus kepada orang lemah, rusak, dan berdosa, dan hal ini merupakan alasan tertinggi bagi ibadah dan syukur kita. Banyak hal yang telah, sedang, dan akan dilakukan Allah melalui persatuan orang dengan Kristus. Hal itu adalah alasan untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya. Dengan demikian ibadah yang berkenan kepada Allah adalah dasar dari segala ibadah yang ada. Ibadah yang berpusat kepada Allah. Ibadah tersebut mengusahakan akal, budi dan iman seseorang dalam posisi haus dan mencari kehendak Allah, karena Allah bukanlah kitab hukum. Allah tidak menyajikan kepada seseorang peraturan-peraturan yang menunjuk jalan kepada orang Kristen sekaligus mengikatnya sebab Injil itu bukanlah hukum yang baru, tetapi justru memberi seseorang kebebasan anak-anak Allah.[18]
Jadi hakikat ibadah Kristen merupakan inisiatif dan kehendak Allah yang tidak dipengaruhi oleh Tindakan manusia atau faktor di luar diri-Nya. Inilah penyataan Allah yang luar biasa bagi umat ciptaan-Nya. Penyataan Allah yang Agung ini dikerjakan dalam sejarah umat manusia untuk mewujudkan tujuan TUHAN Allah sendiri bagi kemuliaan-Nya. Oleh sebab itu ibadah menjadi bukti penyataan Allah yang didasari belaskasihan-Nya kepada manusia. Hal ini bermula dari Allah, dikerjakan oleh-Nya dan bagi kemuliaan-Nya pula. Paulus telah menjelaskan fondasi ibadah yang benar agar setiaup orang percaya memiliki konsep yang benar agar ibadahnya pun didasari pada kebenaran penyataan Allah.
Persembahan diri secara total merupakan ekspresi iman orang-orang percaya kepada Allah. Totalitas hidup yang baru yang telah dibaharui oleh Roh Kudus haruslah menjadi bentuk kurban yang dipersembahkan kepada Tuhan dalam ibadah. Ibadah menjadi wujud nyata respon iman percaya manusia yang telah didamaikan dengan Allah melalui karya Kristus di atas kayu salib. Pengorbanan Kristus merupakan bentuk penyataan Allah yang khusus dan besar bagi umat manusia. Kehadiran Kristus dan pengorbanan-Nya mengubah seluruh kehidupan orang-orang yang percaya kepada-Nya
Ibadah merupakan ekspresi iman percaya yang diwujudkan melalui tindakan suci di segala aspek hidup. Sehingga segala sesuatu yang dikerjakan merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang telah menyatakan belaskasihan-Nya kepada manusia. Bekerja adalah ibadah, baik dalam lingkup khusus dalam keluarga maupun dalam lingkup masyarakat luas. Inilah respon yang benar dari manusia atas penyataan Allah bagi dirinya. Respon yang benar tercipta melalui pardigma yang benar pula. Memahami penyataan Allah di dalam kehidupan secara umum dan karya Kristus pada khususnya akan mendorong setiap orang percaya untuk melakukan segala sesuatu sebagai bentuk ibadahnya kepada Allah. Dengan demikian bahwa orang Kristen harus beribadah kepada Tuhan dengan tubuh mereka dalam semua aktivitas tubuh dan pikiran sehari-hari. Mereka harus hati-hati mengingat apa-apa saja kelakuan yang berkenan dengan kehendak Allah, dan kemudian membuat perlakuan mereka menjadi pola hidup mereka. Persembahan diri secara total merupakan inti ibadah sejati di mana manusia meresponi kasih Allah yang telah dinyatakan dalam sejarah keselamatan kepadanya. Persembahan diri ini menjadi suatu persembahan yang hidup, yang dikhususkan bagi Allah dan berkenan kepada-Nya. Persembahan yang hidup mencerminkan hidup baru yang dipersembahkan, bukan kehidupan dosa. Hidup baru merupakan wujud kekudusan dan perkenanan Allah. Ini merupakan bentuk dari respon manusia yang tertinggi atas kasih karunia Allah yang telah manusia terima. Hidup baru dinyatakan bukan dalam konteks ibadah seremunial melainkan di segala aspek kehidupannya. Kehidupan yang berkenan kepada Allah menjadi ekspresi respon iman manusia atas kasih dan penyataan Allah yang besar bagi dirinya.
Jadi, sinergitas keduanya melahirkan suatu dampak yang besar yakni Allah dimuliakan dan manusia dapat bersekutu dan berdamai dengan Allah. Hal ini melahirkan rasa syukur yang diwujudkan melalui persembahan diri secara total bagi kemuliaan Allah. Hidup dalam kehidupan yang baru menjadi cerminan iman dan perbuatan manusia yang merupakan respon atas tindakan agung Allah bagi manusia. Sinergitas penyataan Allah dan respon manusia beribadah merupakan hakikat ibadah yang sesungguhnya menurt Paulus dalam Roma 12:1 ini.
SIMPULAN
Berdasarkan seluruh pembahasan di atas dapat disimpulkan bahawa hakikat ibadah yang sejati merupakan sinergitas penyataan Allah yang didasarkan pada kasih dan anugerah-Nya yang besar kepada manusia sehingga manusia dapat beroleh keselamatan melalui iman kepada Yesus Kristus dan respon manusia beribadah kepada Allah dengan persembahan diri secara total sebagai bentuk iman percaya kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Persembahan diri diwujudkan dalam kehidupan baru dalam kebenaran dan diimplementasikan di segala aspek kehidupannya. Persembahan diri yang hidup adalah suatu persembahan yang ditunjukkan bukan dengan cara menyerahkan sesuatu yang bersifat materi melainkan dengan menyerahkan diri kepada Allah untuk sepenuhnya dituntun di dalam dan menurut kehendak-Nya. Persembahan yang hidup merupakan suatu pengorbanan diri secara total kepada Allah. Tindakan penyerahan diri atau mengorbankan diri bukan suatu paksaan dari Allah tetapi merupakan kesadaran diri orang percaya sebagai bentuk penyerahan dirinya kepada Allah. Totalitas kasih dan syukur atas penyataan Allah yang besar bagi manusia diwujudkan dalam ibadah yang nyata melalui pola pikir dan tingkah laku di segala bidang kehidupan manusia.
Sinergitas penyataan Allah dan respon manusia beribadah menjadi satu kesatuan yang harmonis dalam konteks ibadah Kristen masa kini. Ibadah tidak dipahami secara sempit sebagai simbol agamawi dan kegiatan seremonial belaka. Ibadah menjadi sebuah gaya hidup baru di segala bidang kehidupan orang percaya. Sinergitas ini menunjukkan bahwa manusia mendapatkan peran yang istimewa dalam terang Roh Kudus untuk dapat berespon dengan benar terhadap penyataan Allah yang besar bagi dirinya. Hal ini membentuk paradigma yang benar akan ibadah yang sejati. Ibadah sejati artinya mengasihi dan menghormati Tuhan sebab dalam bersekutu dengan Allah, manusia juga dimampukan untuk berkomunikasi dengan Allah. Ibadah sejati menunut kita bertanggungjawab untuk meletakan dasar kognitif akan Tuhan dan melakukan perubahan di dalam diri setiap waktu. Dan Hakikat ibadah ini terrefleksi di dalam setiap perbuatan manusia baik dalam konteks ibadah secara umum maupun dalam segala aspek kehidupan pada khususnya. Sehingga ibadah yang dilakukan menyenangkan hati Allah. Menyenangkan Allah artinya membangun sebuah intimasi yang baik dengan Allah. Sudah sepatutnya orang percaya menyenangkan hati Allah dalam setiap ibadah yang dilakukannya. Menyenangkan hati Allah bukan sebuah rutinitas atau suatu pekerjaan biasa akan tetapi menyenangkan hati Allah adalah sebuah tujuan hidup orang percaya.
Melalui penelitian ini, orang Kristen dapat memiliki konsep ibadah yang benar berdasarkan kognisi Paulus melalui suratnya kepada jemaat di Roma, sebagai fondasi ibadah yang benar bagi orang percaya di segala abad dan tempat. Keterbatasan pemahaman terhadap konsep ibadah dapat berdampak pada pergeseran nilai-nilai ibadah Kristen masa kini yang lebih bersifat formal dan seremoial serta mengabaikan nilai-nilai ibadah dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian segala sesuatu yang dilakukan dan dikerjakannya adalah bertujuan bagi kemuliaan Allah. Setiap orang percaya harus memahami bahwa pertama, ibadah merupakan inisitif dan kehendak Allah sejak semula bagi umat-Nya. Sebab itu ibadah bukanlah kemauan diri sendiri untuk mencari Tuhan melainkan respon manusia dalam menjawab panggilan Tuhan bagi dirinya untuk dating dan bersekutu dengan Allah, dan kedua, ibadah adalah persembahan diri manusia sebagai respon kepada Penyataan Allah di dalam hidupnya. Hal aini diwujudkan bukan terbatas pada kegiatan ibadah formal melaikan di dalam segala aspek kehidupan umat Tuhan. Inilah hakikat ibadah yang sesungguhnya. Hal ini akan menjadi dasar dalam membangun ibadah yang benar di hadapan Allah.
Penelitian ini masih memiliki banyak keterbatasan. Hasil peneitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemikiran Kristen masa kini mengenai hakikat ibadah yang benar dalam perspektif Roma 12:1. Gagasan ini masih dapat dikembangkan dari berbagai perspektif tokoh lainnya dalam Alkitab. Peneliti mengharapkan ada peneitian lanjutan mengenai hakikat ibadah dalam lingkup yang lebih komprehenship dari Perjanjian lama hingga Perjanjian Baru untuk dapat memperkaya pemahaman orang percaya masa kini.
[1] Edwin H. Palmer, Lima Pokok Calvinisme, Terjemahan Elsye, 2005. Hal.9
[2] Jammes Juneidy Takaliuang, ‘Ibadah Sebagai Gaya Hidup Menurut Roma 12:1 Dan Implikasinya Bagi Ibadah Masa Kini’, Missio Ecclesiae, 2.1 (2012), 61–84 <https://doi.org/10.52157/me.v2i1.26>.
[3] May Sandy P. Hutapea, ‘Ibadah Kontemporer’, Teologi Vocatio Dei, II.2 (2021), 3.
[4] G. Riemer, Cermin Injil (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013) 21.
[5] Sammy Tippit, Jumpa Tuhan dalam Ibadah (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1993) 4.
[6] Barbara and Friberg (Ed), Analytical Greek….499
[7] Jammes Takaliuang, Missio Ecclesiae, 2(1), April 2013, 61-84
[8] Barbara and Friberg (ed.), Analytical…, 499
[9] Strong, Strong Dictionry,…676
[10] Th.Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 566.
[11] Gerhard Kittel and Gerhard Friedrich-Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of The New
Testament: Abridge in One Volume, 78.
[12] https://www.britannica.com/topic/exegesis
[13] John H. Hayes & Carl R. Holladay., Pedoman Penafsiran Alkitab. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 1-4.
[14] Ibid.
[15] W.R.F. Browning. Kamus Alkitab. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2009), 91.
[16] Ibid.
[17] Sostenis Sampeliling, ‘Metode Membumikan Teologi : Teknik Eksegese Perspektif Hermeneutika’, Jurnal Sunetos, 1.1 (2022), 44–56 <https://doi.org/10.61068/jsnt.v1i1.2..
[18] Harianto GP, (2019), “ Model Teologi Gereja di Abad XXI: Studi Arah Pengembangan menuju
Globalisasi”, Jurnal Excelsis Deo, 3(2), 17-18.
DAFTAR PUSTAKA
American Sociological Association. 2006. “Status Committees.” Washingon, D.C.: American Sociological Association. Retrieved July 10, 2010 (http://www.asanet.org/about/committees.cfm).
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab. 2009. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Beeghley, Leonard. 2000. The structure of social stratification in the United States. Boston, MA: Allyn and Bacon.
Campbell, Mary E. 2009. “Multiracial Groups and Educational Inequality: A Rainbow Or a Divide?” Social Problems 56(3):425-446.
Duke, Lynne. 1994. “Confronting Violence: African American Conferees Look Inward.” Washington Post, January 8, pp. A1, A10.
Feagin, Joe R. 2010. Racist America: Roots, Currentalities, and Future Reparations. New York: Taylor and Francis Routledge. Retrieved January 25, 2011 (http://www.netlibrary.com/AccessProduct.aspx?ProductId=308036).
Hayes, John H. & Carl R. Holladay., 2006. Pedoman Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Kramer, Lisa A. and Steph Lambert. 2001. “Sex-Linked Bias in Chances of being Promoted to Supervisor.” Sociological Perspectives 44(1):111-127.
Kittel, Gerhard and Gerhard Friedrich-Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of The New Testament: Abridge in One Volume
Lesser, Lawrence M. 2007. “Critical Values and Transforming Data: Teaching Statistics with Social Justice.” Journal of Statistics Education 15(1). Retrieved January 25, 2011 (http://www.amstat.org/publications/jse/v15n1/lesser.html).
McCullagh, Peter and John A. Nedler. 1989. Generalized Linear Models. 2nd. ed. London: Chapman and Hall.
Mouw, Ted and Arne L. Kalleberg. 2010. “Occupations and the Structure of Wage Inequality in the United States, 1980s to 2000s.” American Sociological Review 75(3):402-431.
Moller, Stephanie, Arthur S. Alderson, and Francois Nielsen. 2009. “Changing Patterns of Income Inequality in U.S. Counties, 1970-2000.” American Journal of Sociology 114(4):1037-1101.
Pearson, A. Fiona. 2010. “Real Problems, Virtual Solutions: Engaging Students Online.” Teaching Sociology 38(3):207-214. doi:10.1177/0092055X10370115.
Scott, Jacqueline, and Rosemary Crompton, and Clare Lyonette, eds. 2010. Gender inequalities in the 21st century: new barriers and continuing constraints. Cheltenham, England: Edward Elgar.
Tippit, Sammy. 1993. Jumpa Tuhan dalam Ibadah. Bandung: Lembaga Literatur Baptis.
Van, Th. den End, 2000. Tafsiran Alkitab: Surat Roma. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Zambrana, Ruth E. and Victoria-Maria MacDonald. 2009. “Staggered Inequalities in Access to
Higher Education by Gender, Race, and Ethnicity.” Pp. 73-100 in Emerging Intersections: Race, Class, and Gender in Theory, Policy, and Practice, edited by B.T. Dill and R.E. Zambrana. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press.
Post Tags :
doakan kami
Kontak Kami